Dari Mukharikah
Assalamu Alaykum Wr. Wb.
Pendengar Nurani yang budiman, mukharikah namaku, aku ingin berkisah panjang dimalam ini, tetapi kisah yang akan aku tuturkan dimalam ini bukanlah kisahku, tetapi kisah kakakku, sebut saja namanya ummu fudhail, Demi Allah aku menceritakan ini tidak hanya sekedar karena ingin member pujian pada kakakku atau tendesi lainnya, tetapi jujur kisah ini kuceritakan berdasarkan kenyataan yang aku lihat, aku dengar dan aku saksikan sendiri, sebab ummu fudhail adalah kakakku, dan kami selalu bersama sejak kecil.
Pendengar Nurani yang budiman
Jujur, tanpa melebih2kan, sosok kakakku “ummu fudhail”adalah
sosok seorang wanita yang bersahaa, tangguh dan teguh dalam memegang komitmen2 sakral dala hidupnya, apalagi menyangkut kepentingan orang banyak, sejak kecil watak itu memang sudah tampak darinya, terlahir sebagai anak ke 2 dari 4 bersaudara, kakaku selalu tampil beda dalam keluarga, khususnnya pada saat2 kondisi keluarga dalam keadaan genting, entah itu disebabkan masalah besar maupun masalah2 sederhana sekalipun. Keluarga kami sendiri bukanlah keluarga yang religius, ayah dan ibuku adalah 2 orang tua yang masih mewarisi kepercayaan khurofat para leluhurnya, kepercayaan2 yang sudah sangat tidak masuk akal diera modern saat ini masih sangat kental dalam keyakinan keduanya, sementara kakak sulungku adalah seorang lelaki cuek yang tidak terlalu muluk2 dalam hidupnya, dan aku sendiri adalah putri ke 3 dari keluarga itu, ada juga adikku, yang nomor 4, saskia namanya, usianya hanya terpaut 3 tahun dariku, kami semua besar dan hidup dari keluarga yang biasa-biasa saja, dari sisi ekonomipun kondisi keluarga kami terbilang sangat sederhana.
Pendengar Nurani yang budiman
Sikap santun, rendah hati dan apa adanya telah ditunjukan oleh kakakku “ummu fudhail” sejak kami kecil, bila ada makanan dengan porsi terbatas, beliau memilih untuk tidak mencicipinya, yg penting kami sekelurga dapat menikmatinya, dirumah juga beliau terbilang sangat rajin, perabotan rumah selalu kinclong ditangannya, kebersihan dari depan hingga belakang rumahpun selalu tampak rapi dibuatnya, dan beliau tidak pernah ngeluh dengan kondisi apapun, diapun bahkan tidak pernah merasa cemburu melihatku dan saskia kadang malas nimbrung bersamanya memelihara kebersihan dan keindahan rumah, cara bermuamalahnya dengan orang tua dan para tetanggapun terbilang luar biasa, tak pernah selama tinggal bersama kami, ummu fudhail meninggikan suaranya bila berbicara dengan ayah dan ibu, begitu juga cara memperlakukan para tetangga kami, bila ada masakan yang Alhamdulillah lebih, beliau selalu berbagi dengan para tetangga, khususnya 2 keluarga disamping rumah yang memang kondisi ekonominya jauh lebih memprihatinkan dari kami.
Pendengar Nurani yang budiman
Hingga pada saat memasuki bangku SMA, ummu fudhail harus terpisah dengan keluarga kami, sebab untuk kelangsungan sekolahnya, beliau tinggal dirumah salah seorang yang masih kerabat jauh dengan kami, dirumah itu ummu fudhail sepulang sekolah dimanfaatkan oleh tuan rumah/majikannya untuk menjaga kios kecil sederhana, kudengar dia juga bertugas memasak, mencuci baju mereka dan memelihara keindahan rumaha mereka. Yaa, seperti biasalah, sebab dari situlah ummu fudhail mendapat upah sehingga dapat memenuhi kebutuhan sekolahnya, bahkan bila lebih, beliau selalu mengirimkannya pada orang tua kami dikampung, hingga suatu hari, ketika aku bertandang kerumah majikan dimana ia tinggal, alangkah kagetnya aku ketika mendapati kakakku sudah berubah 180 derajat, aku sendiri sempat pangling, manakala melihat ada seorang wanita bercadar sedang menjaga kios dirumah majikannya itu, semula aku fikir kerabat dari majikannya, tetapi ternyata aku dibuatnya tercengang manakala mendengar sapaan dari suara yang tidak asing lagi ditelingaku, dan benar saja, sumber suara itu dari sosok seorang wanita bercadar yang menjaga kios itu, yang tiada lain adalah kakaku sediri, ummu fudhail. Saat itu antara kaget bercampur haru, laksana seorang detektif, aku berusaha mengorek keterangan darinya tentang penyebab beliau menutup seluruh auratnya dengan busana muslimah lengkap dengan cadarnya. Dan terus terang kemistry diantara kami memang sangat kental, dalam kondisi tertentu kami sangat dekat laksana 2 sahabat, dan tak pelak lagi, kakaku menceritakan perjalanan meraih hidayah ilahi selama tinggal bersama majikannya itu. Beliau bertutur bahwa pilihannya tersebut bermula saat beliau mengenal sebuah rohis disekolahnya, dari majelis2 ilmu disekolahnya itulah, kakakku mendapat banyak pelajaran berharga, serta ilmu2 yang bermanfaat, termasuk tentang anjuran berhijab bagi wanita yang mengaku muslimah, beliau juga menceritakan bahwa dirohis tersebut, dialah satu2nya akhwat yang berani melaksanakan syariat islam menutup aurat itu, sebab akhwat2 lainnya ada yang masih risih, malu2 bahkan masih takut karena berbenturan dengan aturan sekolah, subhanallah, aku kagum dengan beliau. Dengan mata berkaca2 beliau juga menceritakan pahitnya perlakuan orang awwam terhadapnya, karena harus tampil sebagai sosok musimah sesungguhnya. Bahkan banyak sekali beliau dilecehkan oleh beberapa oknum guru dan teman2 disekolahnya, namun hatinya telah yakin d engan keputusan tersebut, sebab berhijab bagi muslimah, bukanlah syariat yang dibuat2 oleh manusia, tetapi langsung perintah dari Allah. Makanya beliau sendiri sudah bertekad, apapun yang terjadi beliau tetap akan kekeh dengan pendiriannya. Hidup mulia atau mati syahid, itulah mottonya.
Pendengar Nurani yang baik
Keberaniannya menegakkan syariat islam ternyata tidak hanya setengah2, aku menyaksikan sendiri seolah2 beliau begitu total dalam menjalankan syariat tersebut, caranya bermuammalah dengan lingkungan sekitarpun begitu membuatku kagum. Kelemah lembutannya dalam bertutur meskipun harus menerima perlakuan tidak baik dari beberapa oknum yang menganggapnya aneh dengan penampilannya saat itu, sebab hijab syari kala itu masih sangat asing ditengah2 masyarakat, dan kakaku sering mendapatkan cacian dan hinaan dari semua itu. Dari keluargaku sendiripun mengecam keras keputusan berhijab yang dipilihnya manakala berita ttg perubahannya sudah sampai ketelinga orang tuaku, bahkan suatu ketika beliau silaturahim kerumah, ayahku tidak mengizinkannya masuk kedalam rumah hingga ia mau berjanji untuk tidak uring2an lagi dalam berpenampilan. Namun caranya menanggapi kemarahan tersebut justru begitu semakin membuatku kagum, tak ada kemarahan dalam dirinya, namun justru kelemah lembutan yang selalu ia tampakkan.
“Jangan sekali-kali kau menginjakkan kakimu dirumah ini lagi, bila penampilanmu masih seperti itu…?, ayah tidak ridho…!!, ayah malu orang2 sering mengejek keluarga kita, katanya anakku sudah stress, katanya anakku tak waras lagi…, ayah tidak sanggup mendengarnya nak.., ayah tidak sanggup.., pergi kau dari sini, ayah tidak sudi melihatmu lagi…” ujar ayahku dengan gurat kemarahnnya.
“Ayah…, bersabarlah, nanti ayah sakit…, maafkan saya ayah.., bila memang ayah tidak menginginkan saya ada dirumah ini, tidak mengapa ayah, inshaa Allah saya akan segera pergi dari sini, tetapi sebelum saya pergi dari rumah ini, cobalah tanyakan satu hal pada hati ayah?, apakah aku ini anak kandung ayah?, apakah benar darah yang mengalir ditubuhku ini darah daging ayah??” sahut kakakku perlahan dengan kelembutannya
“apa maksudmu, jadi kau tidak yakin kau itu anakku?” jawab ayahku sambil mengerutkan keningnya masih dengan emosi
“Ayah, bila memang aku anakmu, bila memang darah dagingmu mengalir ditubuhku, maka orang yang pertama kali merasakan keganjilan dalam diri anak2nya adalah orang tuanya sendiri, sekarang, cobalah tanyakan pada hati kecil ayah, apakah ayah merasa bahwa saat ini aku tak waras, apakah kejiwaanku terganggu?, apakah langkahku menutup seluruh auratku ini salah?. Bila ayah merasakan demikian, maka aku siap diterapi, aku akan siap mengikuti kemauan ayah, tetapi bila tidak ada rasa apapun menghinggap dalam hati ayah, mak aku perlu meragukan pertalian darah diantara kita, sekrang.., katakana padaku ayah, apakah kau sendiri merasa bahwa aku ini tidak waras, apakah kondisi kejiawaanku terganggu?.” Ujar kakaku menimpali dengan kelembutannya, dan suasana saat itu semakin tegang ditambah dengan cuaca diluar yang cukup panas. Kusaksikan ayahku tersungkur ditepat dimana ia berdiri, air matanya menetes deras menahan kesedihan.
“kemarilah nak…, masuklah…., kau anak ayah dan ibu, ayah bias merasakan bahwa kau tidak sedang sakit, kau masih waras dan tak ada yang berubah dari dirimu, sekarang beri penjelasan yang masuk akal pada ayah dan ibu tentang penyebab dirimu menggunakan busana muslimah seperti ini…, kemarilah nak…” ujar ayahku sambil menjulurkan kedua tangannya pada kakakku, suasana saat itu menjadi haru, tak pelak kakaku berlari menuju pelukan ayah, menyaksikan semua itu air mataku menetes, subhanallah…
Pendengar Nurani yang baik
Akhirnya, ba’da sholat magrib, dihadapan majelis keci keluarga, dimana semua anggota keluarga kami hadir, ayah, ibu, kakak sulung dan adik bungsuku juga ikut serta dalam majelis itu, dengan santunnya kakakku “ummu fudhail” mulai melancarkan dakwahnya ditengah2 keluarga kami, pembahasannya ringan namun menohok sampai kerelug hati, satu persatu kakaku menyampaikan pemahan islam yang ia dapat selama dirohis, tentang thaharah, bermuamalah, tentang akidah dan tak ketinggalan tentang hijab, sesekali terjadi dialog sengit dalam majelis itu, apa lagi kalau bukan perbedaan pemahaman, kakakku yang mencoba memahamkan dakwah ahlussunah waljama’ah kepada kedua orang tuaku yang meyakini kepercayaan “khurofatnya” nenek moyangnya. Namun dengan penjelasan ringan, tidak menghakimi dan dengan lemah lembut, maka hati kedua orang tuakupun semakin luluh. Jujur aku sendiri bila menyimak penjelasan2 darinya begitu membuat bulu kudukku merinding, akhirnya mulai hari itu, kakakku lebih memilih untuk tinggal dirumah dan tidak kembali kemajikannya dulu, sebab menurutnnya misi menyelamatkan kelurganya dari kehidupan yang gelap gulita kecahaya yang terang benderang menjadi sebuah misi utama baginya, dan mulai malam itu juga, dengan kesepakatan bersama setiap ba’da magrib meskipun hanya beberapa menit, majelis keluarga itupun selalu digelar. Alhamdulillah, satu persatu dari kami mulai menampakkan perubahan, ayah dan kakak sulungku mulai sholat berjama’ah dimesjid meskipun awalnya hanya sholat ashar, magrib dan isya, namun seiring bergulirnya waktu dan bertambahnya pemahaman mereka, akhirnya sholat 5 waktu berjama’ah dimesjidpun sudah menjadi ritual rutin mereka, sementara aku, ibu,adik dan kakakku melaaksanakan sholat berjama’ah dirumah, Alhamdulillah pula ibu, aku dan adikku saskia mulai mengenakan busana muslimah, meskipun tidak serta merta bercadar, dan dari hasil memecahkan tabungan kakakku “umu fudhail”, beliaupun menghadiahi kami beberapa busana muslimah dan jilbab2 panjang. Subhanallah.
Pendengar Nurani yang budiman
Hingga akhirnya pada masa kelas 3 smanya dan saat itu aku kelas 1 disekolah yang sama, kakakku sempat mengalami kendala saat memasuki ujuan NAsional, sebab menurut aturan sekolah, dilarang bagi siswi berfoto menggunakan jilbab, apallagi jilbab panjang, dan tidak dibolehkan bagi peserta ujian nasional mengikuti ujian dengan menggunakan cadar. Namun subhanallah, kakakku bersama beberapa orang teman akhwatya dirohis melakukan protes khidmat diruang kepala sekolah, mereka meminta kebijakan sekolah untuk membolehkan mereka mengikuti Ujian Nasional sebagaimana yang lainnya dengan tidak menanggalkan baju muslimah syar’inya, tak mudah memang , Meluluhkan hati bagi para pengambil kebijakan disekolahnya. Berbgai protes mereka sampaikan dengan khidmat.
“Tidak bias…!, ini sudah menjadi aturan sekolah yang tidak dapat diganggu gugat, dan semua siswa wajib mentaatinya…, sebab dikhawatirkan akan mengganggu kenyaman dalam ujian dan akan berimbas pada Nilai akhir ujian kalian, putusan ini dibuat demi kebaikan bersama, agar kalian bias lulus 100%!!” itulah putusan akhir dari pihak sekolah disampaikan sela-sela apel pagi.
“Maaf, interupsi pak…” ujar kakakku ditengah heningnya suasana apel pagi itu
“Apa hubungannya Ujian Nasional dengan Busana Muslimah yang kami gunakan saat ini, apapula hubungan busana muslimah syar’I seerti yang kami gunakan saat ini dengan Nilai akhir, bukankah yang menentukan nilai akhir kita adalah Allah plus ikhtiar yang baik dengan belajar bersungguh2?, lalu mengapa pula busana muslimah dikait2kan dengan kenyamana Ruang kelas saat ujian?, apakah busana kami membuat pengap ruang kelas?, apa busana kami norak sehingga membuat peserta ujian tidak konsentrasi?, saya rasa tidak pak, sebab kami sendiri yang nyata2 menggunakannya tidak sedikitpun merasa gerah dengan pakaian ini. Mohon dipertimbangkan sekali lagi pak, sebab ini menyangkut reputasi sekolah bapak, sebab jumlah kami yang menggunakan busana muslimah disekolah ini teramat banyak, dan 60% diantaranya adalah peserta ujian tahun ini, bila memang kami tidak dibolehkan mengikuti ujian ini, maka secara otomatis 60% dari peserta ujian tahun ini disekolah bapak tidak akan mengikuti ujian dan otomatis pula 60% itu tidak akan lulus dalam ujian ini. Sekali lagi mohon dipertimbangkan, sebab kalaupun diberi pilihan untuk ikut ujian ini, namun harus menanggalkan busana uslimah syar’I ini, maka kami lebih memilih tidak mengikuti ujiannya, bagiamna teman-teman?” ujar kakakku dengan lantangnya yang kemudian disahuti oleh teman2 akhawat lainnya dengan teriakan takbir.
“allahu akbar..allahu akbar…”
Pendengar Nurani yang budiman
Entah bagaimana jadinya, dan dengan negosiasi yang baimana, yang pasti tiba2 pihak sekolah membolehkan akhwat berfoto menggunakan jilbab dan dibolehkan mengikuti ujian nasional, dan hasilnya 100% peserta ujian disekolah kami lulus dengan Nilai memuaskan, sebagai adik, aku sangat gembira saat itu, aku sangat kagum dengan kakakku.
Pendengar, perjalanan waktu terus bergulir, qadarallah, karena keterbatasan ekonomi, kakakku tidak bias melanjutkan kuliahnya keperguruan tinggi, meskipun cita2nya begitu besar untuk itu, dan dia lebih memilih membuka usaha kecil-kecilan dirumah, menjadi penjual nasi kuning di pagi hingga tengah harinya, dan menjual nasi bungkus disiang hari sampai sore, sebab kebetulan tepat didepan rumah kami, terdapat pangkalan ojek, dan tukang2 ojek itu pun jadi langganannnya, dari penghasilan inilah, ekonomi keluagra terdongkrak, apalagi setelah kondisi ayah mulai sakit2an, kakakku dengan gigihnya berjuang demi menghidupi kebutuhan keluarga dan biaya sekolahku dan adikku. Sementara itu, kakak sulungkku yang laki2pun sudah menjadi seorang ikhwah yang taat, rajin dan ulet pula, Alhamdulillah pada saat kakak kami ingin segera menyempurnakan separuh agamanya, kakakku “ummu fudhail”lah yang beraksi mencarikan akhwat calon istrinya, dan Alhadulillah akhwat yang dipilihkannyapun betul2 sesuai dengan keinginan kakakku dan klik dihati keluarga, jadilah bertambah satu akhwat sholehah ditengah2 keluarga kami. Dan keluarga kamipun semakin lengkap dengan hadirnya kakak iparku yang juga Alhamdulillah memberi warna positif ditengah2 keluarga dan lingkungan kami.
Pendengar Nurani yang baik
Jujur, kakakku “ummu fudhail” memang tidak sampai kuliah keperguruan tinggi, beliau juga bukanlah pengurus diorganisasi dimana kami bernaung, dia hanyalah sosok akhwat biasa, namun subhanallah begitu luar biasa perannya dalam dakwah ini. Termasuk mendakwahi keluarga kami. Hingga suatu hari ketika tanpa sengaja aku lewat dipintu kamarnya, aku mendengar percakapan beliau dan ibu, meskipun samar2 namun sedikitnya aku bias mendengar bahwa yang mereka bahas adalah perkara masa depan kakakku.
“Nak, kau sudah cukup dewasa, usiamu sudah layak untuk menikah, apa sudah ada pria yang dekat dihatimu, jangan lama-lama lho.., ayah dan ibupun begitu ingin menimang cucu darimu..”ujar ibuku sepertinya dengan nada serius.
“Iyya bu, Alhamdulillah tak terasa ya usia saya sudah dewasa, perasaan kemarin masih sering disuapin ibu.., hehehe, hmmm, untuk sementara ini, kebetulan belum ada tanda-tanda pria yang dating menghitbah saya bu, kita serahkan saja kepada Allah, sebab pilihanNYA pasti tidak meleset, ayah dan ibu bersabar aja yaahh…, saya mohon didoakan saja, semoga Allah segera mengirimkan seorang pria terbaik untuk saya, bukankah do’a seorang ibu maqbul adanya…” jawab kakakku dengan khidmat. Perlahan aku mengintipnya dari balik pintu, kusaksikan ibuku memeluk kakakku.
“ iyya nak, ibu selalu doakan yang terbaik untukkmu dan keluarga kita, apa tidak sebaiknya kau minta dicarikan pria terbaik melalui kakakmu..?, mungkin ia punya teman yang bias dipilihkan menjadi suamimu…” ujar ibuku member solusi
“hmm.., mana baiknya aja bu, saya ikut aja..” jawab kakakku perlahan
“nak, ngomog2 pria seperti apa yang kau inginkan nak?, nanti ibu sampaikan pada kakakmu..” ujar ibuku lagi.
“ah ibu, aku jadi malu.., bu.., aku memimpikan seorang pria yang bias jadi imam buatku dan anak2ku kelak, aku juga memimpikan calon suami yang tidak hany amenyanagiku, tetapi juga menyanagi ayah dan ibu, selebihnya aku tidak inginkan apapun bu…, wallahi, hal itu sudah cukup menjadi syarat buatku.” Jawab kakakku lagi, kulihat keduanya saling berpelukan dengan isakan tangis, dan akupun segera pergi berlalu dari tempat itu sebelum ketahuan oleh mereka, subhanallah, aku merasa bahagia dengan kondisi keluargaku saat ini, begitu damai, dan suasana kekeluargaan begitu kental terasa.
Pendengar Nurani yang baik
Hingga akhirnya, datanglah seorang pria kerumah bersama kakak sulungku, sepertinya dia seorang ikhwah yang juga teman kakak sulungku, lagi-lagi aku, kakakku “ummu fudhail”, ibu dan adikku sasika menguping pembicaraan mereka diruang tengah, sebab kakak sulungku dan ayah yang menemuinya, dan ternyata memang benar, ikhwah tersebut dating dengan maksud melamar kakakku ummu fudhail, percakapan diantara merekapun cukup a lot, si ikhwah menyampaikan hajatnya ingin mengkhitbh kakakku.
“bismillah, afwan pak, nama saya Abdul Rodzak, saya temannya Abdullah, putra bapak, hmm, kedatangan saya kemari dalam rangka ingin mengkhitbah putri bapak “ummu fuhail” menjadi istri saya, kebetulan orang tua saya sudah saya kabari namun qadarallah hari ini karena ada satu dan lain hal maka mereka tdak bias menemani saya.” Ujar ikhwah tersebut
“iyya, terima kasih nak rodzak, memang sebelumnya Abdullah sudah sering mnceritakan tentangmu, katanya kau honor di sebuah sekolah dasar ya?, masya Allah, bapak senangnya mendengarnya. Apa kau sudah pernah melihat putriku, sebab itu penting dalam sebuah persiapan pernikahan, agar nantinya tidak ada penyesalan dibelakang hari…” jawab ayahku perlahan dengan bijaknya.
“iyya pak, Alhamdulillah saat ini saya mengajar disebuah sekolah dasar, yaa meskipun masih honor, tetapi inshaa Allah pekerjaan itumenjadi berkah bagi saya dan keluarga saya kelak, dan…, sejujurnya saya tidak perlu lagi melihat putri bapak, sebab qadarallah, semoga Allah mengampuni saya…hmm, tempo hari saat saya dating kesini pada persiapan walimahnnya Abdullah, dengan tidak sengaja saya melihat putrid bapak tidak memakai cadarnya keluar dari kamarnya menuju dapur, dan sejujurnya itu tidak saya sengajai. Dan sejak itu pulalah menjadikannya beban dihati saya, sebab saya begitu merasa bersalah, tetapi niat lamaran ini bukan semata2 karena ingin menebus keslaahan itu, tetapi memang saya sudah merasa mantap untuk berkeluarga, semoga bapak dan keluarga berkenan.” Tutur Abdullah dengan malu-malu sambil menundukkan pandangannya dihadapan ayah dan kakakku, sesaat juga kulihat kakakku “ummu fudhail” tersipu malu mendengarnya.
“ya udah, tidak jadi masalah buat bapak dan semoga Allah mengampuni kita semua atas apa yang tidak sengaja kita lakaukan, nah.., adapun untuk urusan ini, biaralah putriku yang menentukannya, apakah ia bersedia menjadi istrimu atau tidak, sebab dialah yang menjalani biduk rumah tangga setelahnya, bukan bapak atau siapapun….” Sela ayahku, lalu selanjutnya meminta pertimbangan kakakku “ummu fudhail”
“Nak.., bagaimana denganmu sendiri?, apakah kau menerima pinangannya?, atau kau masih butuh waktu untuk menjawabnya..?” Tanya ayahku perlahan pada kakakku, dengan tersipu malu kakakku “ummu fudhail”pun menjawabnya
“Bismillah, dengan memohon keberkahan dari urusan ini, serta mengharap ridha dari Allah, insha Allah saya bersedia menjadi istri beliau, semoga kelak beliau bsa menjadi imam yang bagi saya dan anak2 saya kelak, aamiin..” jawab kakakku dengan mantapnya. Ada keharuan meresapi relug2 hati kami yang sempat hadir pada saat itu, subhanallah, begitu indahnya islam ini.
“Alhamdulillah.., nah, nak rodzak, antum sudah mendengarkan jawaban anakku, hmm, sekarang berapa kemampuan nak rodzak sendiri, maksud saya berapa dana yang kau sanggupi sebagai uang nikah dan untuk urusan mahar, biarlah putriku yang menentukannya, sebab mahar itu adalah hak dia, jadi dia yang berhak menentukaan apa yang ia inginkan sebagai mahar pernikahan kalian…” ujar ayahku melanjutkan pembicaraan sacral tersebut. Aku semakin terharu menyaksikan urusan ini.
“Alhamdulillah pak, eee, begini, kebetulan keinginan menikah ini adalah inisiatif saya sendiri, orang tua sayapun beru kemarin saya kabari dan mereka kaget dibuatnya, bagi mereka tak jadi soal, namun dalam hal materi mereka belum bias member bantuan apapun pada saya, jadinya saya memakai dana simpanan saya sendiri untuk ini, dan dana yang saya miliki saat ini sebesar Rp. 5.500.000.” tutur abdul rodjak menimpali sambil malu2, ayah dan kakakkupun tersipu malu sambil tersenyum mendengar penuturn ikhwah tersebut.
“Masyaa Allah, bapak bangga padamu nak, bapak bangga dengan keberanianmu, semoga kau adalah pria terbaik yang dipilihkan allah untuk putriku, bagi bapak, dana itu sudah lebih dari cukup, insha Allah kita gelar acara walimahnya dengan sederhana, yang penting tidak menghilangkan kesakralannya, jadi, bapak memutuskan biarlah kau serahkan saja Rp. 200.000 sebagai uang nikahmu nak, sisanya Rp. 5.300.000 simpanlah untuk kalian jadikan modal usaha nanti setelah menikah…”jawab ayahku dengan bijaknya.
“Subhanallah…, terima kasih pak, bertemu dan insha Allah menjadi bagian dari keluarga ini adalah anugerah buat saya, inshaa Allah saya akan berusaha menjadi suami yang baik buat putrid bapak” uajr ikhwah tersebut dengan tangis haru, sesaat suasana hening. Hingga beberapa saat kemudian.
“sekarang giliranmu putriku, apa yang kau inginkan sebagai mahar pernikahan kalian, kau berhak menentukannya arena itu hakmu..” ujar ayahku dengan semakin bijaknya
“Syukran ayah, sebagaiman ayah member kemudahan pada beliau untuk meringankan uang nikahnya, maka mahar yang saya minta dari beliaupun cukup sederhana, semoga beliau menyanggupi dan ikhlas memberikannya” jawab kakakku “ ummu fudhail” masih dibalik hijab.
“apa itu ukhti..,, insha Allah ana akan berusaha dan ikhlas memberikannya” jawab ikhwah itu langsung menanggapi pernyataan kakakku.
“Bismillah, semoga antum tidak terbebani dan ikhlas atas permintaan ana ini, inshaa Allah sebagai maharku, ana meminta antum unntuk menghafalkan Qur’an juz 30 sebagai mahar pernikahan kita. Syukran” ujar kakakku menimpalinya dengan khidmat.
“Subahanallah.., Alhamdulillah.., Allahu akbar.., barakallahu fiek.., inshaa Allah ana menyanggupinya ukhti. Syukran wajazakillah kaheran atas kebesaran hati anti mempermudah usursan ini.” Jawab abdul rodzak dengan rasa haru. Dan suasana saat itupun berubah menjadi suasana yang penuh keharuan. Dan aku semakin kagum dengan agamaku sendiri, Islam Rahmatan lil ‘alamiin
Pendengar Nurani yang budiman
Demikianlah kisah yang dapat kututurkan dimalam ini, Alhamdulillah saat ini aku udah punya 2 ponakan yang lucu2 dari kakakku tersayang, sementara kakak iparku al akh abdul rodzak saat ini telah terangkat menjadi PNS dan mengajar di sebuah Sekolah Menengah Umum, keluarga merekapun kusaksikan begitu bahagia, semoga kebahagiaan itu akan selamanya menyertai rumah tangga mereka, aamiin. Semoga kisah ini bermanfaat untuk kita semua, aamiin. Special aku ucapkan terima kasih kepada Kakakku tersayang “Ummu Fudhail” yang sudah ngebolehin aku mengisahkan tentang kehidupannya deprogram Nurani Mala mini.
Wassalam
(Sumber:Radio Makkah AM 954khz)
0 komentar:
Posting Komentar