seorang jemaah haji Bangladesh keluar dari Mesjid bermaksud mencari tumpangan menuju Mesjidil Haram untuk menunaikan thawaf wada’ sebelum pulang ke negaranya. Seketika hendak naik kendaraan jemaah haji yang sudah tua itu melihat petugas kebersihan yang sedang menyapu di seberang jalan. Tiba-tiba dia berlari sambil berteriak ke arah tukang sapu memanggil namanya. Orang-orang pun keheranan memandang laki-laki tua yang berlari sekencang angin ke seberang jalan menuju penyapu jalan yang sedang terpana pula dengan sapunya. Mereka mengira si tukang sapu pasti telah berbuat yang tidak-tidak kepada pak tua itu. Kejadiannya masih belum bisa dimengerti ketika begitu sampai pak haji tua menarik dan mendekap tukang sapu sambil menangis histeris, demikian juga yang dilakukan tukang sapu tersebut. Orang-orang pun mendekat untuk memupus rasa penasaran mereka dengan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di antara kedua laki-laki Bangladesh ini. Akhirnya mereka pun tahu, ternyata tukang sapu itu adalah adik kandung Haji Bangladesh tersebut. Dia hijrah meninggalkan negaranya setelah kakaknya itu menolak memberikan hak waris yang ditinggalkan ayah mereka. Dia itu menguasai semua harta yang ditinggalkan sang ayah. Selain itu dia juga berusaha menyakiti sang adik secara fisik bahkan menjebloskannya ke penjara lebih dari sekali dengan berbagai cara setiap kali meminta haknya, yang nilainya tidak kurang dari 5 juta Rial, diserahkan kepadanya. Orang-orang yang menyaksikan pun hampir tidak percaya mendengarkan penjelasan sang petugas kebersihan yang masih saja dalam dekapan saudaranya, bahwa dia sesungguhnya berasal dari keluarga kaya dan terpandang di Bangladesh. Hadirin tidak dapat tidak memberikan ucapan selamat kepada kedua abang-beradik tersebut, setelah si adik menerima permintaan maaf dan penyesalan saudara kandungnya itu. Dia memintanya kembali ke Bangladesh dan menerima harta warisan yang menjadi haknya seutuhnya. Haji Bangladesh tersebut, dengan diterjemahkan oleh saudaranya, kemudian menceritakan penyesalannya terhadap perbuatan zalim yang telah dilakukannya kepada sang adik. Akibat merampas hak adiknya itu, Allah menegurnya dengan menimpakan penyakit kanker. Dia juga menceritakan bahwa dia sudah berkali-kali membuat sayembara berhadiah besar untuk orang yang dapat menunjukkan di mana gerangan sang adik berada, dan tidak menyangka sama sekali mereka akan berjumpa saat menunaikan haji ini. Juga harapannya bahwa dengan sakit yang diderita dia masih diberi waktu yang cukup untuk menebus hari-hari yang telah dilalui sang dengan penuh penderitaan akibat ulahnya. Dia pun berkata, “Saya tidak lagi menganggapnya sebagai adik, tetapi lebih dari itu, bahkan lebih dari anak saya sendiri.” Tak lama kemudian kedua abang-beradik tersebut meninggalkan lokasi menuju sebuah kantin cepat saji. Orang-orang pun bubar dan saling berkomentar. Di antara mereka ada yang berkata, “Selama ini saya selalu memberi sedekah kepada petugas kebersihan itu, saya tidak tahu ternyata saya memberi makan seorang miliuner!?” Petugas kebersihan itu pun memutuskan pulang kembali ke negaranya, menutup lembaran-lembaran masa lalu yang dipenuhi catatan penderitaan dan kesusahan. Namun dia tidak abai menyantuni fakir miskin, teringat dengan pengalaman pribadinya selama lima tahun menjadi orang fakir dengan segala kesusahannya. Dia pun bertekad tidak akan menzalimi seseorang pun, karena Allah telah mengharamkan kepada Diri-Nya sendiri untuk berbuat zalim, dan mengharamkannya pula kepada hamba-hamba-Nya. Ada yang menyampaikan bahwa lima tahun berada di Mekah sebagai petugas kebersihan, laki-laki tersebut ternyata mempergunakan kesempatan itu untuk menghafal al-Qur`ān dan menguasai bahasa Arab fushah lisan dan tulisan.
(Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi)
0 komentar:
Posting Komentar