Labels

Minggu, 05 Mei 2013

Memaksimalkan Potensi Untuk Kejayaan Islam

Mungkin hari ini kita mematikan Kreativitas yang alami dari diri kita sendiri karna dengan adanya internet yang didalamnya sudah serba ada, tapi dengan sosok Sahabat Zaid Bin Tsabit bisa jadi renungan atau motivasi untuk membangkitkan kreativitas kita. Simak kisah singkatnya,,,,,
Badannya Kecil, kurus, Usianya belum genap 13 tahun. Namun, smangatnya besar , cita-citanya tinggi, dan kecerdasannya mempesona. Pemuda itu bernama zaid Bin Tsabit Ra. Ia adalah seorang Anshar yang berasal dari madinah. Ketika rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam berhijrah ke Madinah, usianya ketika itu 11 tahun. Pemuda itu ikut masuk Islam bersama keluarganya yang lain yang juga memeluk islam. Ketik mendengar kaum muslimin bersiap menuju lembah badar untuk berperang, hatinya pun tergerak. Dengan penuh kesungguhan,
ia bawa pedangnya lalu berangkat bergabung dengan pasukan kaum muslimin. Ketika melihat tubuhnya yang kecil dan usianya sangat mudah, Rasulullah Shallallahu alaihi Wa Sallam pun menolak keikutsertaannya dalam pertempuran itu. Kenyataan yang mungkin sangat pahit diterima oleh sang pemuda pada pu8ncak semangatnya. Ya, saat gairah keislaman sedang tinggi-tingginya, “sang murabbi” mencegahnya ikut serta dalam barisan. Rasa sedih dan kecewa yang memenuhi rongga dadanya membentuk gumpalan-gumpalan yang kemudian meleleh menjadi tangis. Masih dengan air mata tersisa di kelopak mata, ia temui ibunda tercinta. “Rasulullah Shallallahu alaihi Wa Sallam melarang saya pergi berjihad,” suaranya bergetar mengadu. Ibunda adalah kader dakwah pilihan sehingga yang keluar dari lisannya kemudian adalah nasihat pembangkit jiwa, “jangan bersedih. Kamu masih bisa berkhidmat kepada islam dengan cara yang lain. Bila tidak dengan pedang, kamu masih bisa berjihad dengan lisan dngan pena.” Ibu yang bijak yang juga kader dakwah pilihan ini, menyadarkan anaknya bahwa ruang lingkup perjuangan ini sangat luas dan beragam. Ditambah, potensi individu yang berbeda beda dan sama beragamnya. Tertola di satu pintu,m bukan berarti tertutup seluruh pintu perjuangan. Selama kita mau mengetuk pintu-pintu yang lain, tentu masih ada yang mau merima kita, apapun peran kita. “Nak, “ katanya, “jangan bersedih. Kamu masih bisa berkhidmat kepada islam dengan cara yang lain. Kamu masih bisa berjihad dengtan lisan dan pena.” “ Kamu harus tekun belajar membaca dan menulis serta menghafal Al-Qur’an dengan baik,” nasihat sang ibu. “ setelah itu, setelah kau pintar, kita akan menghadap Rasulullah Shallallahu alaihi Wa Sallam untuk mengetahui bagaimana cara untuk menggunakan potensi yang kita miliki untuk berkhidmat kepada Islam,” bijak Sang ibu member nasihat. Ketika Zaid menghafal 17 surah Al-Qur’an dan pandai tulis baca, Sang Ibu mengajaknya bertemu Rasulullah Shallallahu alaihi Wa Sallam . “wahai Nabi,” ujar sang ibu membuka dialog, “anak kami telah pintar baca tulis, dia juga hafal 17 surah Al-Qur’an dengan baik dan benar. Dengan itu semua ia ingin dekat denganmu dan selalu mendapingimu. Jika anda berkenan wahai Rasulullah, dengarkanlah bacaannya.” Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam menyimak bacaan Zaid dan tahu betul kemampuan dan potensi yang ada pemuda itu. “Wahai Zaid,” Ujar Rasulullah, “ pelajarlah bahasa yahudi untukku. Sebab, aku khawatir mereka tidak amanah dalam menyampaikan pesanku.” Dengan wajah sumringah tugas itupun dilaksanakan dengan sepenuh hati. Dan tampak bahwa pilihan Rasul itu memang tepat. Pemuda 13 tahun ini bisa menguasai bahasa Ibrani dalam waktu yang sangat singkat. Tak hanya berbicara, bahkan ia mampu menulis laksana seorang Ibrani. Potensi besar yang ada pada diri Zaid membawanya jadi Ulama yang sangat dihormati. Ia mendapat tempat yang mulia di tengah masyarakat muslim. Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda, “ Umatku yang paling menguasai ilmu Faraidh adalah Zaid Bin Tsabit.” (H.R. Hakim). Asy-Sya’bi pernah bercerita, ketika Zaid hendak pergi berkendara, Ibnu Abbas memegang tali kendali kudanya. Zaid menolaknya dengan halus. Ia merasa tak pantas dengan perlakuan yang begitu istimewa. “tidak perlu begitu wahai putra paman Rasulullah Shallallahu alaih wa Sallam,” ujarnya . ibnu abbas langsung menyahut, “ Tidak, beginilah seharusnya yang kami lakukan terhadap ulama kami.” Ibnu Abbas menuturkan, “Tokoh-tokoh terkemuka dikalangan sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam mengakui bahwa Zaid Bin Tsabit adalah orang yang dalam ilmunya.” Pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Siddiq, ia memikul satu tugas yang sangat berat . “Wallahi,”katanya ketika menggambarkan betapa beratnya tugas itu, “kalau saja mereka menyuruhku memindahkan gunung dari tempatnya, niscaya hal itu akan lebih mudah dan lebih ringan bagi saya dari pada yang mereka perintahkan kepadaku untuk mengumpulkan Al-Qur’an.” Bagaimanapun beratnya tugas tersebut, Zaid sukses melaksanakannya. Potensi yang ia miliki telah sejalan dengan peran yang ia lakoni untuk kejayaan islam. An-Nawar binti Malik, sang ibunda, telah pula mengambil peran penting dalam kecemerlangan Zaid. Beliaulah pertama-tama membaca potensi anaknya, mendukung, dan mengarahkannya semaksimal mungkin. Mereka telah menyelesaikan perannya dengan baik sehingga kita bisa merasakan manfaatnya hingga saat ini. (Sumber: Ar-Risalah Edisi143)

0 komentar:

Posting Komentar